Langsung ke konten utama

Unggulan

Cerpen I


“mau kemana?” Tanya teman kamarku, ardi.

“mau jalan-jalan ke Toko buku”

“amang gak bosan ke toko buku mulu” balasnya

“Gak. Malah itu tempat satu-satunya aku bisa menikmati hidup”

“aneh kamu”.

Sudah sejak tengah bulan kemarin, jadwal untuk ke toko tertunda terlalu lama.

Pagi ini, tepatnya jam 10 pagi ku telah siap-siap meluncur ke destinasinya. Lumayan orang-orang masih belum pada bangun, mobil dan jalan munkin tidak terlalu padat, menurutku.

Aku melewati sebuah warung yang bukanya pagi, dijaga oleh kakek pensiunan atau nganggur aku pun tidak tahu. Yang ku ingat bapak dan anaknya itu terlalu baik. Sering aku membeli di situ. Karena tempatnya yang tepat di bawah rumah.

Aku berjalan melewati tokoh dan beberapa rumah warga, masih sepi, ku lanjutkan pergi ke halte bus. Untuk sampai ke tujuan butuh sekitar setengah jam, lumayan tidak jauh.

Ketika sampai ke halte bus, aku tidak sengaja melihat sosok perempuan yang mukanya tidak asing bagiku.

“Nat, ngapain kamu di sini” Natalia, perempuan yang ku kenal ketika ada pentas musik di opera, seberang nil. Kebetulan Cuma kita berdua yang bukan pribumi yang menonton acara itu. Akhirnya kita saling menyapa, eh tidak, lebih tepatnya aku yang mengajak kenalan duluan.

“eh, Aan. Nggak mau kemana-mana sih, Cuma jalan-jalan doang”

“dari pada gabut di sini, mau ke toko buku nggak?, bukan bermaksud apa-apa ya, takutnya dikira modus. Itu kan yang sekarang dilontarkan mereka. Padahal sebenarnya bukan begitu aslinya”

“Nggak kok. Aku gak mikir sejauh itu. Itu malah dari kamunya, mikirnya terlalu jauh. Ok dah. Aku ikut. Daripada di sini.” Balasnya.

“Emangnya mau beli apa, An? Lanjtunya

“Ini, mau beli Turats Wa tajdid, punya Hasan Hanafi”.

“Oh,” balasnya simpel.

“Udah ku cari kemana-mana buku itu, tak kunjung ku pinang”.

“Mengapa cari buku itu?”

“Katanya, tolak berpikirnya Pemikiran Hasan Hanafi di mulai dari buku itu, terus lahirlah karya-karya dia selanjutnya. Makanya penting ku beli lalu ku baca sebelum yang lain”.

“Oh gitu.”

“ya. ngomong-ngomong apa kegiatannya sekarang?” tanyaku sambil mengalihkan topik.

“Setelah acara musik di Opera itu, aku mencoba belajar musik dari nol. Otodidak sih, dari youtube. Tapi lumayan sekarang udah tahu nada dikit-dikit.”

“emang alat musik apa yang kamu pelajari?”

“Gitar. Agak sulit aku pelajarinya. Dari kunci A, dm, dan c, lumayan, tapi aku tidak akan nyerah.”

“emang kenapa belajar musik?”

“nggak tahu ya. Aku melihatnya, musik itu bisa menyatukan rasa, mengungkapkan yang tidak bisa diungkapkan, menyatukan berbagai jenis orang, tidak peduli ras, suku, bahkan agama. Lagian aku juga hobi dengerin musik, Makanya aku tertarik pada musik”.

“menarik sih,”

Pembicaraan kita mengalir kemana-mana, dari sekian bulan kita tidak ketemu, kita saling menceritakan kegiatan kita masing-masing, dan kesibukan kita.

Bus yang kita naiki menyelusuri Atabah, jalan yang sesak dengan penduduk. Alasanya simpel, tempat ini Pasar orang mesir. Setahuku, termasuk pasar terbesar yang terletak di tengah-tengah kota Kairo. Keriuhan orang yang saling tawar menawar memecahkan lamunanku yang sedari tadi aku memerhatikan orang di luar jendela. Sedang Natali sibuk dengan Hpnya. Aku memilih untuk tidak bicara atau melihat hp. Melihat ke luar jendela bus sebuah pengalaman dan nuansa yang tidak mau aku lewati.

“Metro, metro” Panggilan Supir yang menyuruh keluar dari bus bagi penumpang jurusan Metro. Aku dan nat termasuk yang diusir.

Kita turun dari bus, kita tidak bicara. Emang tidak punya bahan lagi untuk diobrolin. Maka diam adalah senjata terampuh.

“Aku sampai lupa, Kamu sekarang tinggal dimana?” aku menembus kehenigan itu dengan pertanyaan basa-basiku.

“Aku tinggal di Gamroh.”

“Ah, lumayan jauh dari perkampungan masisir ya.”

“Sengaja. Aku males ketemu orang indo di sini sekarang, tidak tahu alasannya kenapa. Tapi itu yang aku rasakan. Aku lebih tenang gitu kalau tidak ketemu mereka.”

“Berarti kamu males ketemu Aku?”

“ya nggak juga semua orang sih. Kalau pada orang yang aku kenal, aku tidak males. Apalagi orang yang enak di ajak ngobrol.”

“emmm. Gitu.”

Natalia melirik kepadaku dengan lirikan yang agak kecut, antara orang yang tidak enak atau orang yang salah ucap.

Suasana kembali hening, kita berjalan menuju toko buku pertama yang di list. Tidak terlalu jauh dari tempat kita turun. Dan menurutku, berjalan di area sini juga tidak terlalu membosankan. Gedung-gedung yang menjulang tinggi, orang-orang yang berpenampilan rapi, lalu lintas yang tertib, tidak orak-orakan, sangat memanjakan mata. Letak kota yang sangat teratur dengan patung-patung yang berada di tengah-tengah mereka sekan di desein setertib dan seindah munkin. Khedive Ismail, arsitektur dari jalan ini, terinpirasi dari jalan-jalan dan kota paris, maka tidak heran, nuansa di jalan ini agak keeropaan, seakan-akan kita tengah menginjakkan kaki di eropa. Kairo rasa Eropa.

“Ke sana.” Aku menunjuk ke arah toko yang ku tuju, sekaligus mengarahkan Nat yang sejak tadi berada di belakanku. Dia sedang asik memotret sana-sini.

“Indah ya. Tenang rasanya. Ahh”. Dia menghela napas dalam-dalam, dan melepaskannya seakan-seakan melepaskan segala beban dari pundaknya.

“Kota ini, lumayan untuk dijadikan destinasi untuk sekedar rehat”.

“emmm” timpalnya, sambil senyum sekecil jarum.

Aku baru sadar, Nat memiliki lesung pipi, yang terlihat ketika ia tersenyum. Aku melihatnya sejenak. Lalu aku palingkan mukaku ke arah lain. Aku pun tidak tahu mimik wajahku saat ini.

“Itu dia tokohnya”. Toko Ma'rifa.

Kita masuk ke dalam toko lalu mencari buku yang telah lama ku incar itu, aku mencari di bagian rak-rak buku di sana, tak kunjung nampak. Lalu ku tanya ke penjaganya ternyata stok bukunya habis. Aku panggil Nat yang lagi melihat buku yang lain, kemudian kita ke toko sebelahnya, dan di sana juga tidak ada juga. kita telah menelusuri setiap toko besar di area sini, tidak ada satupun yang bilang ada.

“Itu ada penjual buku di pinggir jalan.” Nat mengarahkanku pada penjual buku pinggir jalan yang letaknya tidak jauh dari toko pertama yang kita hampiri, lalu dia meninggalkanku sendirian di seberang jalan yang lain.

“An, Kesini”.

aku menyebrang jalan. Dan kali ini Nat yang nanya ke penjualnya.

“Ini ada” kata nat.

“Mana-mana.” Aku langsung ke arah nat dengan kegirangan, dengan perasaan gembira, sama ketika seorang anak kecil ketika ayah-ibunya membawa mainan.

“Owalah, ini yang versi Fullnya, Minal 'Aqidah Ila Tsaurah, yang aku mau itu yang Versi kecil, al-Turats Wa al-Tajdid”

“eh, bukannya bagus kalau full?”

“Bagus sih, tapi berapa katanya”

“Ya Amm, Kam di (berapa ini)?”

“Alf”. Dengan entengnya, penjual itu melontarkan harga. Tapi terasa berat di pundakku. Dan nat membalikkan badannya kepadaku, dan aku mengankat kedua alisku serta memberi kode ke Nat untuk pergi.

“Terlalu mahal ya?” tanya Nat.

“Ya. Uangku tidak cukup membelinya.”

“Oh. Munkin kapan-kapan”

“Ya”.

Akhirnya, setelah mencari ke semua toko dan tak kunjung dapat, kita kembali lagi ke titik kita turun, sambil lalu menunggu bus atau angkutan umum lainnya. Di sela-sela itu, aku memberanikan diri bicara ke Nat.

“Makasih ya, mau menemaniku beli buku, ya walaupun akhirnya tidak dapat juga.”

“aku loh yang terimakasih, berkatmu aku ada tempat baru untuk kegabutanku. Dan aku merasa sedikit senang sekarang, dan lebih tenang.”

“emang sepenat itu hidupmu?” tiba-tiba kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. “eh, maaf aku keceplosan.”

“tidak apa-apa kok. Santai aja, perkataanmu tidak salah juga”.

“Oh ya”. Lanjutnya “kapan-kapan kita ngobrol ya, ya munkin di mana gitu. Bisa kan?”

Aku menghela napas, antara terkejut dan tidak kepikiran, aku diajak Nat. Memang aku tidak begitu kenal dengan dia. Kita Cuma ketemu dua kali, di opera dan hari ini. Aku bingung mau jawab apa. Tapi aku masih punya rasa penasaran untuk ketemu dia ke tiga kali. atau ke dia. Ya ke orang di depanku ini. aku tidak tahu, yang penting ada pertemuan.

“Oke. Kita cari tempat Asob atau cafe yang rame.”

“Oke.”

“Oh ya, tapi itu tidak mengganggumu kan?” lanjutnya

“Selama itu tidak menyalahi aturan, aku tidak apa-apa.”

“Oke.” Dia sekali lagi mengakat ujung bibirnya, terlihat manis, aku melihat di balik kerudung hitamnya.

tremco yang kita tunggu akhirnya datang juga. Aku dan Nat juga mengakhiri percakapan kita dengan saling diam. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Nat saat ini.

Kita sudah pisah saat masing-masing menaiki kendaraan. Aku naik bus. Nat Tremco.

Kepalaku melayang kemana-mana saat di bus. Ku lemparkan pandangan ke luar jendala. Jam menunjukkan pukul jam 3 Sore. Aku masih tidak menyangka seorang gadis mengajakku bicara empat mata. Aku mengiyakan karena menghormatinya. Untuk menoloknya kami juga sudah saling kenal, takut mengecewakan dia. Aku masih penasaran apa yang mau di bicarakan dia ketika tiba saat itu. Aku pikir itu hal positif. Munkin tentang buku atau pelajaran kampus.

Tepat jam setengah 4 sore aku tiba di rumah. Aku baru sadar bahwa aku tidak punya sama sekali nomor bahkan sosial media Nat. Kita lupa saling tukar nomor hp. Tapi tenang, kalau dia butuh pasti dia akan mencariku. Entah dari sosmed.

Hari demi hari, bulan melalui bulan lainnya, sudah satu tahun, setelah aku dan Nat ketemu, sampai detik ini pun tidak ada pesan apapun dari Nat. Beberapa kali aku ke toko buku, tak kunjung pula aku ketemu. Akhirnya, aku pasrah pada takdir pertemuan ketiga kali dan selanjutnya kepada tuhan. Dan lagi, aku sangat berharap. Pertemuan, pembicaraan, cerita-cerita Nat tidak bisa kulupakan. Apalagi senyum manisnya. Aku tidak tahu kemana dia sekarang. Yang aku tahu sekarang, kepalaku tidak bisa lepas dari Natalia Putri Kamila. Perempuan yang aku temui di Stasiun Bus. 

 

 

Komentar

Postingan Populer